MEWUJUDKAN KPU LAMPUNG YANG TANGGUH
Pendahuluan
Pemilihan Umum ( Pemilu ) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Penyelenggaraan Pemilu itu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara lang-sung oleh rakyat, yang dikelola oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum ( KPU )
Pelaksanaan Pemilu sangat menentukan nasib bangsa untuk masa selanjutnya, sehingga penyelenggaraannya harus benar-benar terorganisir oleh orang-orang yang bertanggung jawab serta memiliki integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas tinggi, bukan sekadar mengisi berbagi formasi.
Ada sebelas azas Penyelenggara Pemilu, yang menjadi pedoman bagi anggota KPU, dan menurut penulis untuk mewujudkan KPU Lampung yang Tangguh, mengacu pada kesebelas azas dimaksud, KPU Provinsi Lampung sebagai institusi penegak demokrasi adalah dengan bersaing / mampu berkompetisi, keterbukaan dan akuntabilitas, yang secara teknis harus “mewarnai” setiap kegiatan KPU, sehingga tidak menjadi jargon azas belaka.
Sistem TI KPU
KPU merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum disebutkan salah satu azasnya adalah Keterbukaan, dan berkewajiban : menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat.
Merujuk pada undang-undang tersebut maka KPU merupakan sebuah agen yang salah satu kewajibannya adalah menyampaikan informasi dan melakukan standardisasi penyampaian informasi-informasi penyelenggaraan pemilu, termasuk mengenai hasil penghitungan suara di setiap daerah pemilihan.
Terkait dengan kehendak untuk ‘menyampaikan informasi’ tersebut, sesungguhnya KPU itu sendiri merupakan agen, yang dilibatkan oleh agensi yang lain, yaitu rakyat-pemerintah, yang telah melakukan aksi meliuk agar mencapai tujuannya untuk mengetahui dengan cepat dan akurat hasil penghitungan suara di setiap daerah pemilihan.
Pewujudan kehendak KPU sebagai agen informasi dibenturkan pada fakta dilapangan yaitu geografis, terdiri atas daratan-daratan yang dipisahkan oleh lautan. Hal ini merupakan halangan selain minimnya informasi yang dimiliki oleh KPU, sebagai lembaga umum yang mengurusi segala sesuatu tentang pemilu, akan teknologi komunikasi sehingga memaksa KPU untuk melibatkan agensi yang lain.
Para pakar komunikasi, merupakan salah satu agen yang lain, yang memiliki minat, perhatian dan kepentingan pada dunia komunikasi termasuk diantaranya adalah perihal teknologi informasi (TI). Dalam hubungannya dengan teknologi informasi (TI) , pakar komunikasi memiliki kehendak bahwa teknologi informasi (TI), dengan artifak-artifaknya berupa konstelasi perangkat keras (kabel-kabel, komputer, papan ketik, tetikus, layar tampil) dan perangkat lunak merupakan wujud pendelegasian tugas komunikasi yang lebih cepat dan lebih dapat dipercaya daripada tugas yang sama yang semula diemban oleh kurir, kertas, stempel ( sebagai simbol legalitas ), sepeda motor ( sebagai alat transportasi ), yang akan digantikan dengan artifak-artifak TI yaitu protocol (aturan pengalamatan data), data, autentifikasi (login, password), dan jaringan telephone. Kehendak para pakar ini berupa skrip yang berlaku pada artifak-artifak TI tersebut sehingga mereka berkaidah dan bersekutu sehingga mampu mewujudkan tugas informasi-komunikasi yang diembankan tersebut.
Menilik konstruksi dari para pakar TI dan KPU dari uraian diatas maka keterlibatan para Tenaga Profesional di bidang TI di KPU Provinsi Lampung sangat beralasan. Para tenaga profesional TI merupakan agen yang dilibatkan oleh KPU untuk membantu perwujudan kehendak KPU untuk menghimpun dan menyebar-luaskan informasi dari dan ke seluruh penjuru Provinsi. Selanjutnya persekutuan agen-agen ini ( KPU dan para pakar / tenaga ahli TI ) akan mendelegasikan tugas komunikasinya pada sistem TI.
Sumpah / Janji dan Pakta Integritas
Beranjak dari pengalaman masa lalu, KPU sebagai lembaga penegak demokrasi seakan menjadi ironi ketika korupsi sebagai salah satu penyakit kronis demokrasi justru bertubi mendera institusi ini. Penyakit korupsi terjadi pada kondisi ketika kekuasaan dimonopoli sedemikian rupa oleh pemegang kekuasaan, sedangkan pada saat yang sama kontrol eksternal dari publik sangat terbatas. Korupsi bertumbuh subur di lingkungan yang tidak demokratis.
KPU diselenggarakan dengan tugas pokok dan fungsi yang jelas di setiap bagiannya, sehingga tak menyebabkan tumpang-tindihnya tugas. Terkadang sebuah tugas khusus harus ditangani oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian di bidangnya. Misalnya, seorang doktor ilmu politik harus menangani informasi-komunikasi ( teknologi informasi ) atau menangani cetak kertas suara pemilu yang sangat teknis.
Selain problem pembagian tugas dan kesimpangsiuran kewenangan, KPU bermasalah dalam hal akses publik. Karena pemilu adalah hajatan besar dengan anggaran besar rupiahnya pula, maka akses publik dalam bentuk transparansi anggaran menjadi wajib hukumnya. Ketidakpercayaan, bahkan sikap paranoid yang ditunjukkan KPU sangat mengecewakan publik. Persepsi terhadap KPU pun berubah dari sebuah pakta integritas menjadi fakta tak berintegritas. Padahal kalimat pertama dalam sumpah / janji telah menyebutkan akan memenuhi tugas dan kewajiban sebagai anggota KPU dengan sebaik-baiknya sesuai peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Fakta-fakta di masa lalu seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk melahirkan KPU baru yang lebih transparan dan akuntabel, terutama dalam hal keuangan. Perbaikan dapat difokuskan pada pembagian tugas, pembenahan sistem kinerja, dan pertanggungjawaban publik dalam hal keuangan.
Komposisi anggota KPU ke depan seharusnya tidak lagi didominasi oleh para pakar ilmu politik. Anggota KPU juga harus terdiri atas para profesional untuk mengurusi hal teknis, seperti ahli di bidang teknologi informasi, ahli di bidang keuangan, dan ahli di bidang pendataan, terutama pendataan pemilih. Bidang-bidang ini harus ditangani oleh para ahli, karena pengalaman pemilu lalu, bidang-bidang ini sangat bermasalah. Selain itu, pembagian tugas dengan sekretariat KPU juga harus jelas. Pegawai sekretariat KPU sebaiknya juga direkrut sendiri, dan bukan orang-orang yang ditempatkan dari instansi pemerintah lainnya. Dalam Pasal 58 ayat 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menyebutkan bahwa Pegawai sekretariat adalah Pegawai Negeri Sipil dan tenaga profesional yang diperlukan.
Dalam hal keuangan, KPU sebaiknya memiliki satuan pengawasan internal sendiri karena KPU akan menjadi instansi pemerintah. Sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan, KPU juga harus diaudit secara rutin tiap tahun oleh akuntan publik sehingga kondisi keuangannya dapat diketahui publik.
Audit kinerja juga harus dilakukan kepada KPU untuk melihat pencapaian tugas dan kewajiban KPU sesuai dengan undang-undang. Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan tugas ini selain melakukan audit umum terhadap KPU. Audit kinerja dapat menjadi bahan evaluasi tahunan bagi KPU untuk melihat kesimpangsiuran kewenangan, terutama berkaitan dengan anggaran. Hal ini juga penting karena KPU di daerah akan mengelola dana yang tidak hanya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, tapi juga anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Penutup
Untuk mewujudkan KPU Lampung yang Tangguh sebagai institusi penegak demokrasi adalah dengan bersaing / mampu berkompetisi, keterbukaan dan akuntabilitas yang secara teknis harus “mewarnai” setiap kegiatan KPU. Mau dan mampu bersaing dalam penyelenggaraan pemilihan umum agar menjadi yang terbaik dari aspek manajemen, efektip dan efisien, serta pemanfaatan teknologi Informasi secara optimal dari sekedar “tukang jahit” harus diubah menjadi ke model usaha “desainer”. Selain itu, keberadaan KPU Lampung bukan sekadar pelaksana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 saja, tetapi juga bertanggungjawab atas proses penyadaran dan pemberdayaan politik rakyat. Proses sosialisasi dan pemberdayaan itu harus berkesinambungan, bukan hanya melalui multi media sesaat ( jika sudah mau / ada pemilihan ) saja, tetapi memang harus melalui proses yang panjang dan berlanjut.
KPU Provinsi Lampung sebaiknya juga diaudit secara rutin tiap tahun oleh akuntan publik sehingga kondisi keuangannya dapat diketahui publik. Anggaran dan Hasil audit dipublikasikan melalui berbagai media cetak dan media elektronik, serta setiap saat dapat diakses melalui website.
Para-pihak dalam manajemen KPU Provinsi Lampung ini harus diarahkan dan berkomitmen untuk membangun system / tata kelola komisi yang tangguh, yaitu profesional, efektif, tingkat efisiensi yang tinggi, berkelanjutan, akuntabilitas, mampu berkompetisi, dan berorientasi ke kualitas, dengan prinsip-prinsip manajemen : Transformasi Visi, Focus pada Kepuasan Mitra ( Rakyat – Parpol – Pemerintah ), Dukungan infrastruktur dan pemanfaatan teknologi informasi secara optimal, Pemberdayaan, Menuju perbaikan ( secara terus menerus ), Berorientasi pada Kualitas, Komitmen Manajemen ( harus tetap terjaga )
Momen perubahan dan keberadaan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu juga harus disertai dengan konsolidasi KPU dan KPU harus ditempati tidak saja oleh orang yang pintar, tapi juga orang yang bersih dan menjaga amanah.
( Karya tulis ini dibuat guna memenuhi persyaratan / kelengkapan administrasi Calon Anggota KPU Provinsi Lampung, Januari 2008 )